SIBOLGA -
Air mata dan
isak tangis Sarima Hutauruk (41) seakan tak ada habisnya, saat jasad Herison
Hutabarat asli Pak Mario (42), dimakamkan di TPU Gereja HKBP Sarudik, kemarin
(3/11) siang. Dari silih berganti pelayat datang, begitu juga dengan
teman-teman satu sekolah anaknya, hanya Sarima yang terus menangis histeris.
Sedangkan
ketiga anaknya tidak menangis, namun terus menatap wajah ayahnya yang sudah
terbujur kaku. Begitu juga dengan Br Sitompul, ibu korban, beserta 2 saudara
korban lainnya, hanya meneteskan air mata. "Amos bunuh ma au asa rap mate
au dohot abang mon (Amos bunuh sajalah aku, biar sama-sama mati aku sama
abangmu ini)," histeris Sarima.
Dia juga
mengungkapkan kekuatirannya mengasuh ketiga anak mereka yang masih kecil-kecil.
Sebab selama ini, Hersion yang menjadi tulang punggung keluarga, meski
kesehariannya cuma berjualan tuak. "Beha ma au Pak Rio (anak pertamanya)
mangurus gelleng mon (gimanalah aku Pak Rio mengurus anak-anakmu ini,
red)," tangisnya, tak mampu menahan air matanya yang terus mengalir.
Sekira pukul
14.00 WIB jenazah korban dibawa dengan mobil ambulace menuju TPU gereja HKBP
Sarudik. Peti jenazah diangkat beramai-ramai oleh pemuda warga sekitar diikuti
Sarima dari belakang yang terus menangis.
Dalam tangisnya
Sarima merasa kalau suaminya telah pergi mendatangi mertuanya yang sudah
meninggal 2 tahun yang lalu. “Amang, nga ro be amang anakmu mandongani ho
(Bapak mertua, sudah datang anakmu menemanimu),” ucapnya.
Sementara,
Amosen mengaku menyesali semua perbuatannya. Anak keempat dari lima bersaudara itu meminta maaf kepada
ibunya, kakaknya, kakak iparnya (istri korban) dan anak-anak abangnya yang
masih bocah.
“Saya sangat
menyesal sekali atas kejadian ini, untuk itu, saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya kepada ibu saya, kakak saya, istri abang saya. Penyesalan dan
permohonan maaf ini terutama kepada anak-anak abang saya yang saat ini masih
kecil-kecil, saya menyesal dan minta maaf yang sebesar besarnya,” ungkapnya berurai airmata di Mapolres
Sibolga, Senin (3/11).
Menurutnya,
permasalahan ini sebenarnya terjadi karena adanya pertengkaran antara ibunya
dengan istri abangnya (korban). Dimana dalam pertengkaran itu, korban cenderung
membela istrinya. Kebetulan dirinya sudah minum tuak, hingga akhirnya dia lepas
kendali.
“Niat saya
sebenarnya tidak ada untuk menikam abang saya, namun pada saat pertengkaran
tersebut dirinya masuk ke dapur untuk mengambil es batu dan melihat ada pisau.
Saya menikam abang hanya sekali saja. Setelah menikamnya, saya tidak langsung
melarikan diri, namun terlebih dahulu mencium ibu saya dan barulah saya pergi,”
jelasnya.
Menurut
tersangka, sebelum terjadinya perkelahian antara dirinya dan abangnya, sudah
lebih dulu ada permasalahan keluarga, yakni permasalahan pertengkaran antara
ibunya dan istri abangnya. Keluarga abangnya yang berjualan tuak sekitar 10
meter dari rumah tempat tinggal tersangka. Sementara ibunya berjualan barang
kelontong di rumah mereka.
“Istri abang
saya sering ngomong ke orang-orang bahwa barang yang dijual ibu saya mahal. Dan
jika cerita pada orang-orang selalu tentang Boru Hutabarat yang diceritakannya.
Saya bilang sama ibu saya agar sabar saja. Tapi entah mengapa, ibu saya saya
pergi ke rumah abang untuk menasehatinya. Rupanya kakak saya tidak terima,
akhirnya cari masalahlah kakak ini sama ibu saya. Kakak ipar saya itu mengadu
sama abang saya yang kemudian mengejar ibu,” tuturnya.
Menurutnya,
saat dirinya pulang minum tuak dan sesampainya di rumah, dia sempat berbicara
pada adik perempuannya agar jangan pergi ke luar. Disarankannya agar adiknya
itu membantu ibunya jaga warung. Namun saat bicara dengan adiknya, abangnya
sudah ada di rumah mereka. Akhirnya dirinya bertengkar dengan abangnya. Amosen
mengaku lebih dahulu dipukul oleh abangnya. Hingga akhirnya terjadi perkelahian
dan penikaman itu.(smg/trg)
No comments:
Post a Comment